Jumat, 13 Januari 2017

The Power of word "GAK ILOK"

"GAK ILOK"

Ungkapan "gak ilok" merupakan ungkapan bahasa Jawa, yang sering diungkapkan oleh orang Jawa, terutama orang Jawa yang sudah lanjut usia.

Lalu apa artinya "gak ilok"?
Sampai sekarang ungkapan tersebut menurut saya belum mempunyai arti yang baku. Namun pada intinya ungkapan tersebut adalah sebuah ungkapan larangan.
Contoh kalimat :
Ojo ning tengah lawang gak ilok, ndak ra payu rabi!
(Jangan di depan pintu gak ilok, nanti tidak laku nikah!)

Menurut saya, yang perlu kita analisis pada kalimat tersebut adalah arti dari kalimat tersebut. Apa iya kalau duduk di depan pintu akan tidak laku nikah?, lalu apa hubungannya duduk di depan pintu dengan menikah?. Dianalisis menggunakan teori apa ya biar nyambung? Teori relativitasnya Einstein?
Apa teori-teori hebatnya Bourdieu?
Ya yang jelas teorinya Wong Jowo.

Kembali pada ungakapan "gak ilok", dari satu contoh kalimat diatas, sangat jelas bahwa kata gak ilok merupakan ungkapan untuk melarang. Lantas mengapa orang Jawa memberikan alasan yang kurang rasional?

Mungkin dahulu alasan itu bisa diterima, hal tersebut dapat terjadi karena dalam budaya Jawa tidak laku menikah (tidak cepat menikah, apalagi perempuan yg sudah dewasa) merupakan sebuah hal yang memalukan. Sehingga alasan tersebut dipakai untuk melarang agar orang yg dilarang otomatis akan takut karena tersugesti dan mentaati larangan tersebut. Padahal pada hakikatnya dlmelarang duduk di depan pintu agar tidak menghalangi orang yang akan lewat .

Hal ini merupakan suatu hal yang sangat menggelitik, bahkan unik.
Apabila saya menarik kesimpulan, Faktanya orang Jawa pada jaman dahulu memiliki pemikiran yang cerdas. Dengan mengunakan bahasa pengandaian, mereka dapat menyusun sebuah kalimat yang tidak rasional akan tetapi dapat mensugesti seseorang. Mungkin ini bisa kita sebut "The Power Of Gak Ilok Word" .

Bahkan dalam era globalisasi dan teknologi saat ini, beberapa masih ada yang menggunakan ungkapan gak ilok yg disertai dengan embel-embel kalimat tidak rasional. Kalimat tersebut digunakan untuk mengungkapkan larangan terhadap suatu hal yang kurang pantas. Anehnya lagi, masih ada yang mempercayai dan tersugesti meskipun tidak tahu arti baku "gak ilok" dan tidak mempertanyakan alasan rasionalnya, namun mereka yg dilarang masih mentaati larangan tersebut.

Entah mereka mentaati larangan tersebut karna sadar akan ketidakpantasan itu atau karna hanya menghormati orang yang melarang dengan ungkapan gak ilok, Ya siapa yang tahu....

Unik dan menggelitik...

Namanya juga orang Jowo...
Yo Jawane ki yo reno reno...

Cha_Proborini

Selasa, 10 Januari 2017

Masarakat Pandalungan Jember

Jember…
Kota kelahiran saya, kota masa SMA saya. Semula saya belum merasakan uniknya kota saya ini. Akan tetapi setelah saya merantau menuntut ilmu dan mempelajari sedikit tentang ilmu budaya, saya menyadari bahwa kota saya, kabupaten tempat saya tinggal unik sekali. Dimana uniknya?
Pertama kali saya datang ke Surabaya, banyak sekali teman baru saya yang menganggap bahwa saya adalah orang Madura. Saya terheran karena saya sendiri tidak bisa bahasa Madura sama sekali. Meraka mengira saya orang Madura dikarenakan logat berbicara saya persis seperti orang Madura.
Jember merupakan wilayah di Jawa Timur yang masyarakatnya mayoritas suku Jawa dan Madura. Akibat adanya fenomena tersebut, yaitu masyarakat Jawa dan Madura tinggal bersama dalam suatu wilayah, maka terjadi sebuah interaksi diantara keduanya.
Seperti yang kita tahu, bahwa terdapat 7 unsur budaya menurut Koentjaraningrat, akibat adanya interaksi kedua masyarakat tersebut melahirkan unsur unsur budaya baru. Bahkan merapah telah di sebut dengan masyarakat pandalungan. Ya berarti saya termasuk masyarakat pandalungan.
Unsur kebudayaan yang terlihat dari opengalan saya adalah bahasa. Banyak sekali bermunculan bahasa baru atau mungkin bahsa Jember-an. Misalnya,:

Mak taker
Torkop
Pacapa
Raakaah
Sengak kon
Cek adohee
Ku mlaku
Lon alon
Nang lun alun
Jok sampek
Sing nggenah
Mara
Koen
mayak


Bagi saya yang sejak kecil tinggal di salah satu desa Kabupaten Jember, bahasa itu tidak aneh sama sekali. Akan tetapi bahasa tersebut terasa aneh bagi msayarakat luar Jember, bahkan orang Madura asli pu menganggap bahasa tersebut juga aneh. Oleh karena itu Jember sering disebut dengan Madura swasta, karena bukan asli Madura, akan tetapi terdapat masyarakat yang menggunakan bahasa Madura.
Itu dari unsur budaya bahasa, belum yang lain.